Al-'Am Al-Khas dan Mutlak Muqayyad
A. Al-‘Am
1. Pengertian al-‘am
Dalam upaya untuk memahami al-‘amini para ulama ushul telah memberikan sejumlah definisi atau pengertian yang pada dasrnya mengandung maksud yang sama, meskipun redaksinya berbeda satu sama lainnya. Syaikh Al-khudari Beik, menyebutkan sebagai berikut:
اَلْعَامُ هُوَ الَّلفْظُ الدَّالُ عَلَى إِسْتِغْرَاقِأَفْرَادِ مَفْهُوْمٍ
“al-‘am adalah lafadz yang menunjukan kepada pengertian dimana didalamnya tercakup sejumlah objek atau satuan yang banya”..
Sementara itu, Zaki al-Din Sya’ban mendefinisikan al-‘Am sebagai berikut;
العَامُ هُوَ الَّلفُظْ الْمَوْضُوْعُ وَضْعًا وَاحِدًا وَالَّذِى يَشْمَلُ جَمِيْع الْاَفْرَادِ الَّتِى يَصْدُقُ عَلَيُهَا مَعْنَاهُ مِنْ غَيْرِ حَصْرٍ فِى كَمِّيَّةٍ مُعَيَّنَةٍ
“al-‘Am ialah suatu lafaz yang dipakai yang cakupan maknanya dapat meliputi berbagai objek di dalamnya tanpa adanya batasan tertentu”.
Dari dua definisi diatas dapat dipahami bahwa hakekat keumuman lafal itu adalah karena lafal itu sendiri dilihat dari segi karakteristik dan nilainya mengandung arti yang banyak dan tidak menunjuk kepada objek tertentu saja. dengan kata lain suatu lafal di katagorikan kepada yang umum jika kandungan maknanya tidak memberikan batasan jumlah objek yang tercakup didalamnya.
Makna al-‘Amm termasuk lafal yang digunakan untuk makna tertentu dan karenanya ia qath’iy hingga muncul dalil yang metakhsis. Hal demikian seperti halnya al-khas, yang kandungannya bersifat qath’iy hingga muncul dalil al-majaz; sedangkan kemungkinan adanya takhsis atas al-‘amm merupakan kemungkinan (ihtimal) yang tidak muncul dari dalil yang bersangkutan sehingga tidak menafikan sifat ke-qath’iy-an, sebagaimana halnya kemungkinan (ihtimal) adanya al-majaz atas al-khas tidak menafikan sifat ke-qath’iy-annya.[1]
Jumhur ulama menetapkan bahwa lafaz umum itu sebenarnya mempunyai bentuk-bentuk obyek tertentu walaupun tanpa qarinah. Sedangkan menurut Muhammad Ibnu Muntab dari golongan Malikiyah, dan Muhammad Ibnu Syuja’ dari golongan Hanafiyah menyatakan bahwa umum itu tidak mempunyai bentuk-bentuk tertentu kecuali menggunakan penyertaan.
Semua ulama sepakat bahwa adanya pentakhsish-an lafaz yang ‘amm, karena pada dasarnya semua ayat-ayat al-Qur’an mengandung kebolehan mentakhsiskan, baik takhsis muttashil maupun munfashil. [2]
2. Karaktristik lafal al-‘Am
Berdasarkan penelitian para ulama ushul, bahwa banyak lafal nash yang mengandung makna umum dengan karaktristiknya sendiri. Dan atas dasar ini, maka para ulama ushul telah menyimpulkan ciri khas dan karaktristik lafal yang dikatagorikan kepada umum tersebut. sebagaiman yang telah dikemukakan oleh Mustafa Said al-Khin, bahwa suatu lafal dipandang umum bila didalam nash terdapat lafal-lafal seperti berikut:
· Lafal ( كل ) yang artinya setiap
· Lafal ( جميع ) yang artinya semua atau seluruhnya
· Jama’ atau mufrad dima’rifatkan kepada alif lam al-jinsiyah dan lafal jama’ yang diidofatkan
· Isim maushul
· Isim syarat
· Isim nakirah yang dinafikan
Disamping itu Imam al-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al Fuhul, menyebutkan, lafal-lafal , seperti (سا ئر) semua, (كافة) seluruh, (عامة) semua, dan (معشر) jamanya ( معا شر) sekalian adalah golongan kepada al-‘am. Dalam hubungan ini, bila ditemukan susunan kalimat dengan menggunakan lafal-lafal yang disebutkan diatas, maka ia akan di golongkan kepada al-‘am(umum).Contonya: QS. Al-Baqarah: 275
3¨@ymr&urª!$#yìø‹t7ø9$#tP§�ymur(#4qt/Ìh�9$#4
“Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Lafal “yìø‹t7ø9ا” (jual beli) dan “#4qt/Ìh�9ا ” (riba) dalam ayat diatas keduanya adalah isim mufrod (tunggal) yang dima’rifatkan kepada alif lam al-jinsiyah(jenis). Oleh karena itu, kedua lafal adalah di golongkan kepada al-‘am.
Dari contoh diata sudah jelas bahwa keumuman lafal nash, ditandai dengan penggunaan lafal-lafal tertentu seperti telah disebutkan diatas sebagai ciri atau karaktristik lafal al-‘am.
3. Dalalah al-‘am dan implikasi pemahamannya
Pada dasarnya pada pemahaman dalalah lafal al-‘am, ulama ushul telah sepakat bahwa keumuman lafal nash itu tetap saja dalam keumumannya jika tidak ada dalil yang dapat dijadikan sebagai dasar pengkhususannya. Akan tetapi, kalangan jumhur menegaskan sedapat mungkin keumuman lafal nash itu harus diupayakan mencari takhsisnya, baik dengan akal, adat maupun dengan nash itu sendiri.
Persoalannya sekaran adalah apakah lafal al-‘am itu qhat’i atau zhanny? Tentang hal ini kalangan ulama berbeda pendapat. Menurut ulama dari mazhab Hanafi, bahwa dalalah lafaz al-‘am itu adalah qhat’i bukan zhanny dan ia seperti dalalah lafaz al-kahs dari segi maknanya. Kalangan ulama hanafi seperti dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban, beralasan bahwa, sesungguhnya lafal al-‘am itu mengandung makna yang pasti, tegas sampai ada dalil yang menyalahinya. Atas dasar ini kalangan ulama Hanafi mengemukakan kaidah:
“ apa bila terdapat suatu lafal yang umum, maka maksud seluruh satuan –satuan yang erdapat didalamnya adalah qhat’i sampai ada dalil yang mengkhususkan dan membatasi sebagian dari satuan-satuan yang tercakup didalamnya”.
Kemudian dari kalangan jumhur ulama, seperti dari mazhab syafi’i menyatakan bahwa dalalah lafal al-‘amitu adalah zhanny buka qhat’i. oleh karena itu setiap lafal al-‘am haruslah di takhsis sebelum diamalkan.
Kalangan Syafi’iyah , malah menegaskan:
مَامِنْ عَامٍ إِلَّا وَقَدْ خُصَّ مِنْهُ الْبَعْضَ
“lafal al-‘am tidak dapat diamalkan, kecuali setelah dikhususkan sebagian dari satuan-satuannya”.
Dari pandangan syafi’iyah ini jelas bahwa bagaimanapun juga lafal al-‘am itu, sedapat mungkin harus di khususkan, karena keadaan zhanny.
4. Al-Khas
1. Pengertian al-Khas
Al-kahas mengandung pengertian sebaliknya dari al-‘am. Jika al-‘am mengandung arti umum yaitu lafal yang didalamnya mencakup berbagai suatu objek yang banyak, maka al-kahs adalah suatu lafal yang memiliki arti atau makna tertentu dan khusus. Tidak ada perbedaan pendapat yang prinsipil dikalangan ulama ushul tentang pengertian al-kahs. Beberapa pengertian berikut ini dapat dipahami bahwa lafal al-kahs merupakan arti tertentu dan tidak terdapat perbedaan dikalangan ulama ushul, kecuali dari segi redaksi saja.[3]
Abdul Wahab Khallaf misalnya menyebutkan:
الخَاصُّ هُوَ لَفْظٌ وُضِعَ لِلدِّلَاَ لَةِ عَلَى فَرْدٍوَاحِدٍ
“al-khas ialah suatu lafal yang digunakan untuk menunjukan pengertian pada suatu satuan objek tertentu saja”.
Kemudian Mustafa Said al-Khin memberikan definisi al-Khas sebagai berikut:
الخَاصُ فَكُلُّ لَفْظٍ وُضِعَ لِمَعْنًى وَاحِدٍ مَعْلُوْمٍ عَلَى الْأَفْرَاد وَهُوَإِمَّا أَنْ يَكُوْنَ خُصُوْصَ الْجِنْسِأَوْخُصُوْصَ النَّوْعٍأَوْ خُصُوْصَ الْعَيْنِ
“al-khas ialah suatu lafal yang digunakan untuk menunjukan satu pengertian tertentu atau khusus yang secara langsung dapat dipahami, baik segi jenis dan macamnya maupun segi subtangsinya: seperti manusia dan orang laki-laki”.
Sementara imam al-Syaukani, dalam kitab Irsyad al-Futuh, menjelaskan bahwa yang disebut dengan al-khas adalah suatu lafal yang menunjukan kepada satu sebutan saja.
Dari pengertian yang digunakan untuk menunjukan pengertian yang tertentu saja. pengertian tertentu ini berkaitan sifat satuan yang disebutkan, yaitu segi jenisnya, macam-macamnya, maupun segi zat dan subtansinya. Dengan kata lain al-khas itu pengertiannya sudah terbatas pada aspek tertentu yang secara khusus memang disebutkan.
2. Karaktristik lafal al-khas
Suatu lafal nash dikatagorikan kepada al-khas, bila lafal tersebut diungkapkan dalam bentuk atau karaktristik berikut ini:
· Diungkapkan dengan menyebut jumlah atau bilangan dalam satu kalimat
· Menyebutkan jenis, golongan atau nama sesuatu atau nama seseorang
· Suatu lafal yang diberi batasan dengan sifat atau idofat
Dari ketiga ciri atau karaktristik diatas dapat dipahami bahwa lafal al-khas menunjukan makna tertentu dan spesifik yang cakupannya terbatas. Pada satu objek atau satu satuan yang menggambarkan jumlah, jenis dan macam dari sesuatu. Jika di dalam nash ditemukan lafal-lafal seperti karaktristik diatas, maka digolongkan pada al-khas.
3. Dalalah al-Khas dan pandangan ulama
Pertanyaan yang muncul apakah dalalah al-khas mengandung petunjuk qhat’i, bukan zhanny, kecuali ada dalil yang memalingkan kepada arti lain. Seperti di jelaskan oleh Imam Muhammad Abu Zahra, bahwa dalalah lafal al-khas adalah qhat’i (jelas, tegas). Menurut Zahra hal ini tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Demikian juga yang di jelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bahwa lafal al-Khas menunjukan kecuali ada dalil lain yang mengubahnya.
Apa yang dinyatakan Zaky al-Din Sya’ban ini dapat dipahami bahwa meskipun lafal al-Khas tersebut dalalahnya qhat’i, tetapi ada kemungkinan mengalami perubahan jika ada dalil lain yang dapat dijadikan alasan untuk itu. Yang menjadi permasalahan adalah apakah perubahan dalalah lafal al-khas yang qhat’i kepada arti lain dapat dibenarkan atau tidak?
Dalam hubungan ini ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa arti qhat’i yang ditunjukan oleh dalalah lafal al-khas tidak dapat dirubah kepada arti lain, karena ia sudah pasti. Dalam hal ini, Zaky al-Din Sya’ban sendiri kelihatannya mendukung pendapat yang disebut terakhir ini.
4. Mutlaq dan Muqayad
1. Pengertian Mutlaq dan Muqayad
a. Mutlaq
Dari beberapa literatur ushul fiqh terdapat sejumlah definisi yang diberikan oleh ulama ushul tentangmutlaq ini. Muhammad Jawad Mughniyah, dalam kitab ‘Ilmu Ushul Fi Sanbih al-Jadid, menyebutkan sebagai berikut:
إِنَّ الْمُطْلَقَ هُوَ الًّلفْظُ الدَّالُ عَلَى الْمَاهِيَّةِ بِلَا قَيْدٍ
“bahwa mutlaq itu adalah suatu lafal yang menunjukan kepada sesuatu pengertian tanpa diikat oleh batasan tertentu”.
Secara tegas Muhammad Jawad mengatakan bahwa yang dimaksud Mutlaq adalah suatu lafal yang menunjukan satu bagian atau jenis , tanpa ada pengecualiannya. Seperti nama orang, hamba sahaya atau orang persi. Dalam hubungan ini Mustafa Said al-Khin menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan mutlaq ialah:
بِأَنَّ يَدُلُّ عَلَى فَرْدٍمُنْتَشِرٍ فِى جِنْسِهِ غَيْرِمُقَيَّدٍ لَفْظًا بِأَيِّ قياءٍ يَحُدُّ مِنْ اْنتِشَارِهِ
“yaitu satu lafal yang menunjukan atas suatu objek yang tercakup dalam jenisnya, tanpa dibatasi oleh suatu batasan dari cakupannya itu”.
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa pada hakekatnya apa yang di sebut dengan mutlaq itu ialah suatu lafal nash yang tertentu yang tidak atau tanpa adanya batasan yang mempersempit cakupan artinya. Misalnya dalam nash al-Qur’an yang sering dirujuk oleh ulama ushul disebutkan sebagai berikut:
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَسَمَّا
“maka (wajib) atasnya memerdekakan budak sebelum suami istri itu bercampur”
Dalam ayat diatas terdapat lafal (رَقَبَةٍ) “budak” yang tidak ada batasannya berupa sifat atau keadaan lainnya yang membatasi cakupannya.
b. Muqayad
Adapun pengertian muqayadmengandung arti sebaliknya dari mutlaq. Tentang muqayad ini para ulama ushul juga memberikan sejumlah pengertian. Diantaranya, seperti dikemukakan oleh Syaik al-Khudari Beik, sebagai berikut:
المُقَيِّدُ مَادَلَ عَلَى فَرْادٍ شَا ئِعَةٍ بِقَيْدٍ مُسْتَقْبَلٍ للفظا
“muqayad ialah lafal yang menunjukan kepada suatu objek (afrad) atau beberapa objek tertentu yang dibatasi oleh lafal tertentu”.
Sementara Zaky al-Din Sya’ban mendefinisikan muqayad sebagai berikut:
المُقَيَّدُ هُوَ اللَّفْظُ الَّذِي يَدُلُّ عَلَى فَرْدٍأَوْأَفْرَادٍعَلَى سَبِيْلِ الشُّيُوْعِ وَاقْتَرَنَ بِهِ مَايَدُلُّ عَلَى تَقْيِيْدِهِ بِصِفَةٍ مِنَ الصِّفَاتِ
“muqayad ialah suatu lafal yang menunjukan atas satu objek atau beberapa objek dan ia telah dibatasi oleh suatu sifat”.
Kemudian, Mustafa Said al-Khin menyebutkan sebagai berikut:
دِلَالَةُ الَّلفْظِ عَلَى الْمَاهِيَةِ مُقَيَّدَةٌبِقَيْدٍ مَا يُقَلِّلُ مِنْ شُيُوْعِهَا أَوْ عَلَى مَدْلُوْلٍ مُعَيَّنٍ
“yaitu petunjuk makna lafal kepada sesuatu yang telah dibatasi dengan suatu batasan yang mempersempit cakupannya atau petunjuk lafal tersebut telah tertentu maknanya”.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan muqayad itu adalah suatu lafal nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga pengertiannya lebih spesifik dan pasti. Contohnya:
ã�ƒÌ�óstGsù7pt7s%u‘7poYÏB÷s•B×ptƒÏŠurîpyJ¯=|¡•B#’n<Î)اهله
“maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya”.
Lafal (7pt7s%u‘7poYÏB÷s•B) merupakan ةuqayad, karena telah dibatasi oleh suatu sifatyang cakupan maknanya menjadi lebih spesifik dan terbatas.
2. Pandangan Ulama Tentang Dalalahnya Mutlaq dan Muqayad
Para ulama mazhab berbeda pendapat dalam hal ketentuan hukum antara mutlaq dan muqayad adalah sama, sementara sebabnya berbeda.
أَنْ يَتَحِدَا فِى الْحُكْمِ وَيَخْتَلِفَا فِى السَّبَتِ
Kalangan mazhab Hanafi, yang mutlaq diamalkan sesuai dengan kemutlaqannya dan demikian pula yang muqayad. Akan tetapi, kalangan jumhur fuqaha seperti mazhab syafi’i, maliki, dan hanbali berpendapat bahwa jika ketentuan hukum antara mutlaq dan muqayad adalah sama dan sebab yang melatar belakangi berbeda, maka mutlaq dibawa ke muqayad.
Contonya seperti kafarat ziharadalah memerdekakan seorang budak (7pt7s%u‘7poYÏB÷s•B) diungkapkan dengan lafal mutlaq (pt7s%u‘) adapun kafarat pembunuhan tak sengaja (tersalah) memerdekakan seorang budak mukmin (ã�ƒÌ�óstGsù7pt7s%u‘7poYÏB÷s•B) diungkapkan dengan muqayad. Pada dasarnya ketentuan kafarat zihar dan pembunuhan tak sengaja ketentuannya dalah sama, tetapi yang disebut tyerakhir yang diungkapkan dengan muqayad. Menurut HanafiMutlaq tetap pada kemutlaqannya dan muqayad juga tetap pada tempatnya. Sebaliknya kalangan jumhur berpendapat Mutlaq dibawa keMuqayad. Persoalan sekarang adalah apa yang melatarbelakangi perbedaan kedua kelompok yang disebutkan ini? Ternyatamasing-masing kelompok mempunyai alasan tersendiri.
a. Mazhab Hanafi
Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana dijelskan oleh Mustafa Said al-Khin, bahwa pada dasarnya setiap dalalah lafal nash yang bersumber dari sayri’ mengandung ketentuan hukum tersendiri. Oleh karena itu subtansial setiap nas mempunyai hujjah tersendiri. Dengan demikian lafal mutlaq tidak boleh disatukan oleh lafal muqayad.
b. Kalangan jumhur
Adapun alasan jumhur tentang mutlaq yang harus dibawa kepada muqayad adalah karena al-Qur’an itu merupakan atau ibarat satu perkataan yang wajib membina antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Jika terdapat satu perkataan dalam al-Qur’anyang tertentu hukumnya sudah pasti, maka ketentuan hukum tersebut berlaku sama disemua tempat. Menurut Muhammad Abu Zahra, apabila terdapat pada satu tempat suatu ketenyuan secara Muqayad dan di tempat lain Mutlaq, maka mutlaq dibawa kepada muqayad karena hakekatnyakedudukannya adalah satu ketentuan.[4]
KESIMPULAN
hakekat keumuman lafal itu adalah karena lafal itu sendiri dilihat dari segi karakteristik dan nilainya mengandung arti yang banyak dan tidak menunjuk kepada objek tertentu saja. dengan kata lain suatu lafal di katagorikan kepada yang umum jika kandungan maknanya tidak memberikan batasan jumlah objek yang tercakup didalamnya.
Al-kahas mengandung pengertian sebaliknya dari al-‘am. Jika al-‘am mengandung arti umum yaitu lafal yang didalamnya mencakup berbagai suatu objek yang banyak, maka al-kahs adalah suatu lafal yang memiliki arti atau makna tertentu dan khusus. Tidak ada perbedaan pendapat yang prinsipil dikalangan ulama ushul tentang pengertian al-kahs.
mutlaq itu ialah suatu lafal nash yang tertentu yang tidak atau tanpa adanya batasan yang mempersempit cakupan artinya.
muqayad itu adalah suatu lafal nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga pengertiannya lebih spesifik dan pasti.
[1] Asnawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011), cet. I, h. 197
[2] Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)cet. IV, h. 35
[3] Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Hal. 195
[4] Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Hal. 215
Comments
Post a Comment