Turunnya Al-Quran dengan Tujuh Huruf


A.    TAHAPAN TURUNNYA AL-QUR’AN

Al-Qur’an merupakan kitab yang menjadi sumber hukum serta pedoman bagi umat islam yang diturunkan oleh Allah SWT. Kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui malaikat Jibril. Al-Qur’an diturunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai malam 17 Romadlon tahun 41 dari kelahiran Nabi, sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada’ tahun 63 dari kelahiran Nabi atau 10 H.[1]

Al-Qur’an tidak secara langsung diturunkan kepada Nabi Muhammad namun melalui beberapa tahap. Adapun tahapan turunnya Al-Quran itu ada tiga, yaitu :[2]

1.      Al-Qur’an turun secara sekaligus dari Allah ke Lauh Mahfudz. Proses pertama ini diisyaratkan dalam Al-Qur’an surat Al-Buruj ayat 21-22 :

بَلْ هُوَقُرْانٌ مَجِيْدٌ.فِيْ لَوْحٍ مَحْفُوْظٍ {البروج : ٢١ـ٢٢}

Artinya : “Bahkan yang didustakan mereka ialah Al-Qur’an yang mulia. Yang tersimpan dalam Lauh Mahfudz”. (QS. Al-Buruuj).

2.      Al-Qur’an diturunkan dari Lauh Al-Mahfudz itu ke Bait- Al-Izzah (Tempat yang berada di langit dunia). Proses ke dua ini diisyaratkan Allah dalam surat Al-Qadar ayat 1 :

اِنَّااَنْزَالْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِالْقَدْرِ { القدر : ١}

Artinya : “Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan.” (QS. Al-Qadar : 1)

3.      Al-Qur’an diturunkan dari Bait Al-Izzah kedalam hati Nabi Muhammad SAW. Dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakalanya satu ayat, dua ayat, dan bahkan kadang-kadang satu surat. Mengenai proses turun dalam tahap ketiga diisyaratkan dalam Al-Qur’an surat As-Syu’ara ayat 193-195 :

نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الْاَمِيْنُ. عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُوْنُ مِنَ الْمُنْذِرِيْنَ. بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِيْنٍ {الشعراء : ١٩٣ـــ١٩٥}

Artinya : “ Dia dibawa turun oleh ar-ruh al-amin (Jibril), kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Al-Syu’ara : 193-195).

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui Malaikat Jibril tidak secara sekaligus, melainkan turun sesuai dengan kebutuhan. Bahkan sering wahyu turun untuk menjawab pertanyaan para sahabat yang dilontarkan kepada Nabi atau untuk membenarkan tindakan Nabi SAW.

B.     HIKMAH TURUNNYA AL-QUR’AN SECARA BERANGSUR-ANGSUR

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Al-Qur’an diturunkan tidak sekaligus, namun turun secara berangsur-angsur, dan hal ini memiliki beberapa hikmah kenapa Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur. Hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur yaitu sebagai berikut :[3]

1.      Memantapkan hati Nabi Muhammad SAW.

Ketika menyampaikan dakwah, Nabi sering berhadapan dengan para penentang. Turunnya wahyu yang berangsur-angsur merupakan dorongan tersendiri bagi Nabi untuk terus melanjutkan dakwah.

2.      Menentang dan melemahkan para penentang Al-Qur’an.

Nabi sering berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit yang dilontarkan oleh orang-orang musyrik dengan tujuan melemahkan Nabi. Turunnya wahyu yang berangsur-angsur tidak hanya menjawab pertanyaan itu, bahkan menentang mereka untuk membuat sesuatu yang serupa dengan Al-Qur’an. Dan ketika mereka tidak memenuhi tantangan itu, hal itu sekaligus merupakan sala salah satu mukjizat Al-Qur’an.

3.      Memudahkan untuk dihapal dan dipahami

Al-Qur’an pertama kali turun di tengah-tengah masyarakat yang ummi, yakni yang tidak memiliki pengetahuan tentang bacaan dan tulisan. Turunnya Al-Qur’an secar berangsur-angsur memudahkan mereka untuk memahami dan menghapalnya.

4.      Mengikuti setiap kejadian (yang karenanya ayat-ayat Al-Qur’an turun) dan melakukan penahapan dalam penetapan syari’at.

5.      Membuktikan dengan pasti bahwa Al-Qur’an turun dari Allah yang Maha Bijaksana.

C.    DALIL DITURUNKANNYA AL-QUR’AN DENGAN 7 HURUF

Orang Arab mempunyai aneka ragam lahjah yang timbul dari fitrah mereka dalam suara, dan huruf-huruf sebagaimana di terangkan secara komprehensip dalam kitab-kitab sastra.[4]Apabila orang Arab berbeda lahjah dalam pengungkapan sesuatu makna dengan beberapa perbedaan tertentu, maka Al-Qur’an yang di wahyukan Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad, menyempurnakan makna kemukjizatannya. Karena ia mencakup semua huruf dan wajah qira’ah pilihan di antara lahjah-lahjah itu. Dan ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka untuk membaca, menghafal, dan memahaminya.

Nas-nas sunah cukup banyakmengemukakan hadits mengenai turunya Al-Qur’an dengan tujuh huruf. Di antaranya:

Dari Ibnu Abbas, ia berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : أَقْرَأَنِى جِبْرِيْلُ عَلَى حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ, فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيْدُهُ وَ يَزِيْدُنِى حَتَّى انْتَهَى اِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ.

Rasulullah berkata: Jibril membacakan (Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulangkali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepada ku sampai dengan tujuh huruf.” (HR. Bukhori Muslim)

Hadits-hadits yang berkenaan dengan hal itu amat banyak jumlahnya dan sebagian besar telah diselidiki oleh Ibn Jarir di dalam pengantar tafsir-nya. As-Suyuthi menyebutkan bahwa hadits-hadits tersebut di riwayatkan dari dua puluh orang sahabat. Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam menetapkan kemutawatiran hadis mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf.[5]

D.    PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA SEPUTAR PENGERTIAN TUJUH HURUF

Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan tujuh huruf ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Sehingga Ibn Hayyan mengatakan: “Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat”.[6] Namun kebanyakan pendapat itu bertumpang tindih. Di sini kami akan mengemukakan beberapa pendapat di antaranya yang di anggap paling mendakati kebenaran.[7]

a.       Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna, dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Al-Qur’an pun di turukan dengan sejumlah lafadz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka Al-Qur’an hanya mendatangkan satu lafadz atau lebih saja. Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa

tersebut. Di katakan bahwa ketujuh bahasa itu adalah bahasa quraisy, huzail, saqif, hawazin, kinanah, tamim dan yaman. Menurut Abu Hatim As-Sijistani, Al-Qur’an di turunkan dalam bahasa Quraisy, Huzail, Tamim, Azad, Rabi’ah, Hawazin, dan Sa’ad bin Bakar. Dan diriwayatkan pula pendapat yang lain.

b.      Suatu kaum berpendapat bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dengan makna Al-Qur’an di turunkan, dengan pengertian bahwa kata-kata dalam Al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi, yaitu bahasa paling fasih di kalangan bangsa arab, meskipun sebagian besarnya bahasa quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim atau Yaman, karana itu maka secara keseluruhan Al-Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut. Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang di maksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah Al-Qur’an, bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.

Berkata Abu ‘Ubaid: “Yang di maksud bukanlah setiap kata boleh di baca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa yang bertebaran dalam Al-Qur’an. Sebagiannya bahasa Quraisy, sebagian yang lain bahasa Huzail, Hawazin, Yaman, dan lain-lain” dan katanya pula: “ Sebagian bahasa-bahasa itu lebih beruntung karena dominan dalam Al-Qur’an.”

c.       Sebagian ulama meneyebutkan bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf adalah tujuh wajah, yaitu: amr, nahyu, wa’d, wa’id, jadal, qasas, dan masal. Atau amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amsal.

d.      Segolongan ulama berpendapat bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf, yaitu:

1.      Ikhtilaful asma’ ( perbedaan kata benda)

2.      Perbedaan dalam segi i’rab (harokat akhir kata)

3.      Perbedaan dalam tasrif,

4.      Perbedaan dalam taqdim (mendhulukan) dan ta’khir (mengakhirkan)

5.      Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian)

6.      Perbedaan karena ada penambahan dan pengurangan

7.      Perbedaan lahjah.

e.       Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak di artikan secara harfiah, tetapi bilangan tersebut hanya sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab. Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan Al-Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi. Sebab, lafadz sab’ah dipergunakan pula untuk menunjukan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan, seperti “tujuh puluh” dalam bilangan puluhan, dan “tujuh ratus” dalam ratusan. Tetapi kata-kata itu tidak di maksudkan untuk menunjukan bilangan tertentu.

f.       Segolongan ulama berpendapat bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qiraat tujuh.

Tarjih dan Analisis

            Pendapat terkuat dari semua pendapat tersebut adalah pendapat pertama, yaitu bahwa yang di maksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dalam mengungkapkan satu makna yang sama. Misalnya: aqbil, ta’ala, hulumma, ‘ajal dan asra’. Lafadz-lafadz yang berbeda ini digunakan untuk menunjukan satu makna yaitu perintah untuk menghadap. Pendapat ini di pilih oleh Sufyan bin ‘Uyainah, ibn Jarir, ibn Wahb dan lainya. Ibn ‘Abdil Bar menisbatkan pendapat ini kepada sebagian besar ulama dan dalil bagi pendapat ini ialah apa yang terdapat dalam hadits abu bakrah berikut :

 “ Jibril mengatakan: “Wahai Muhammad, bacalah Al-Qur’an dengan satu huruf, lalu Mikail mengatakan: tambahkanlah. Jibril berkata lagi: dengan dua huruf! Jibril terus menambahnya hingga sampai dengan enam atau tujuh huruf. Lalu ia berkata: semua itu obat penawar yang memadai, selama ayat azab tidak di tutup dengan ayat rahmat, dan ayat rahmat tidak di tutup dengan ayat madzhab. Seperti kata-kata: hulumma, ta’ala, aqbil, izhab, asra’ dan ‘ajal”

E.     HIKMAH DARI TURUNNYA AL-QUR’AN DENGAN TUJUH HURUF

Hikmah yang dapat diambil dengan kejadian turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sebagai berikut:[8]

1. Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca tulis, yang setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing, namun belum terbiasa menghafal syari’at, apa lagi mentradisikannya. 
2. Bukti kemukjizatan Qur’an bagi naluri atau watak dasar kebahasan orang arab. Qur’an mempunyai banyak pola susunan bunyi yang sebanding dengan segala macam cabang dialek bahasa yang telah menjadi naluri bahasa orang-orang arab, sehingga setiap orang arab dapat mengalunkan huruf-huruf dan kata-katanya sesuai dengan irama yang telah menjadi watak dasar mereka dan lahjah kaumnya, dengan tetap keberadaan Qur’an sebagai mukjizat yang ditantangkan Rasulullah kepada mereka. Dan mereka tidak mampu menghadapi tantangan tersebut. Sekalipun demikian, kemukjizatan itu bukan terhadap bahasa melainkan terhadap  naluri kebahasaan mereka itu sendiri.

3. Kemukjizatan Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Sebab perubahan-perubahan bentuk lafadz pada sebagian huruf dan kata-kata memberikan peluang luas untuk dapat disimpulkan dari padanya berbagai hukum. Hal inilah yang menyebabkan Qur’an relevan untuk setiap masa. Oleh karena itu, para fuqaha dalam istinbat (penyimpulan hukum) dan ijtihad berhujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf ini.

DAFTAR PUSTAKA

Hudlari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, Terj. Mohammad Zuhri, Rajamurah Al-Qona’ah, 1980

Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, CV Pustaka Setia, 2010

Al-Itqan, Jilid 1

Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Pustaka Litera Antar Nusa, 2013


[1] Hudlari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, Terj. Mohammad Zuhri, Rajamurah Al-Qona’ah, 1980, hlm.5-6

[2] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, hlm 34.

[3] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, hlm 36.

[4] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hlm 225.

[5] Al-Itqan, Jilid 1, hlm 41.

[6] Al-Itqan, Jilid 1, hlm 45.

[7] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hlm 229.

[8] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hlm 244.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Pengelolaan Kelas

Makalah Al-Istikhfam dan Al-Istihrad

Makalah Husnut Ta'lil Balaghah