Makalah Al-Istikhfam dan Al-Istihrad

Istikhdam

Salah satu bentuk muhassinat maknawiyyah (memperindah makna) adalah istikhdam. Secara terminologis istikhdan adalah:

ذِكْرُ اللَّفْظِ بِمَعْنىً وَإِعَادَةُ ضَمِيْرٍ أَوْ اِسْمِ إِشَارَةٍ بِمَعْنىً آخَرَ

Artinya : Istikhdam ialah menyebutkan suatu Lafazh yang mempunyai makna dua, sedangkan yang dikehendaki adalah salah satunya. Setelah itu diulangi oleh kata ganti (dhamir) yang kembali kepadanya atau dengan isim isyarah dengan makna yang lain, atau diulangi dengan dua isim dhamir, sedangkan yang dikehendaki oleh dhamir yang yang kedua bukan yang dikehendaki oleh dhamir yang pertama.  

Dari definisi di atas kita bisa mengambil makna bahwa yang dimaksud dengan istikhdam ialah menyebutkan suatu lafazh yang bermakna dua. Makna yang satu dijelaskan oleh lafazh itu sendiri, sedangkan makna yang lainnya dapat kita tangkap dari adanya dhamir yang mesti dikembalikan kepada makna lainnya.  Demikian pula dinamakan istikhdam apabila suatu lafazh mempunyai dua makna, yang satu difahamkan dengan sebab adanya suatu dhamir, sedang yang satu lagi dengan dhamir yang lain.

Contoh-contoh:

Firman Allah SWT

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Artinya : Maka barang siapa di antara kamu melihat bulan, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu.” (al-Baqarah: 185)

Kata “الشهر” mempunyai dua makna. Makna yang pertama adalah ‘penanggalan’ atau ‘bulan sabit’. Dan yang kedua artinya ‘sebulan penuh’ (bulan Ramadhan). Pada ayat di atas di ungkapkan kata “الشهر” dengan arti ‘penanggalan’ atau ‘bulan sabit’. Kemudian setelah itu di ulangi dengan dhamir “ىه” pada ungkapan “فليصمه” pada ungkapan tersebut kembali ke “الشهر” akan tetapi dengan makna ‘bulan Ramadhan’.

Pada contoh ayat di atas terjadi pengungkapan suatu kata yang mempunyai dua makna, kemudian diulangi oleh dhamir yang kembali pada kata tersebut. Sedangkan makna kata yang disebut berbeda dengan makna dhamir yang kembali kepadanya. Model uslub ini dinamakan uslub istikhdam.

Dalam sebuah syi’ir dikatakan :

فَسَقَى الْغَضَى وَالسَّاكِنِيْهِ وَإِنْ هُمُوْهُ # شُبُّوْهُ بَيْنَ جَوَانِحِى وَضُلُوْعِى   

Artinya : “lalu hujan itu menyiram ‘al-Ghadha’ dan para penghuninya, sekalipun mereka menyalakannya di antara dada dan tulang rusukku”

Pada syi’ir di atas terdapat kata al-Ghadha. Kata ini mempunyai dua makna yaitu berarti ‘nama kampung’ dan ‘nama kayu bakar yang sering dipergunakan untuk memasak’.

Pada kalimat :

فَسَقَى الْغَضَى وَالسَّاكِنِيْهِ

Artinya : “menyiram al-Gadha dan penghuninya”

Makna al-Gadha dalam ungkapan tersebut adalah “kampung” . Kemudian setelah itu terdapat ungkapan “شبوه  “ (sekalipun mereka menyalakannya)  Kata “ـه”pada ungkapan tersebut merupakan dhomir yang kembali kepada kata  “ الغَضَى ”. Kata “ الغَضَى ” yang bermakna  “nama suatu kampung”  diulangi oleh dhamir yang kembali kepada lafadz tersebut dengan makna “kayu bakar”.

Dalam sebuah syi’ir dikatakan:

وَلِلْغَزَالَةِ شَيْءٌ مَنْ تَلِفْتُهُ  # وَنُوْرُهَا مِنْ ضِيَاءِ خُدَّيْهِ مُكْتَسَبٌ

Artinya : “Si Kijang betina punya sesuatu. Dari tolehan yang dicintai

  Cahayanya yang naik itu Hasil sorotan kedua pipinya.”

Pada syi’ir diatas penyair berkehendak dengan mengemukakan lafadz  “الغزالة ” artinya yang telah sama-sama diketahui, yaitu “kijang betina“. Sedangkan dengan dhamir yang kembali kepada lafadz  “نورها” , penyair berkehendak pada arti “matahari yang sedang naik”.

Al-Istithrad

Istithrad dalam istilah ilmu balaghah tepatnya ilmu badi’ adalah susunan syi’ir atau kalimat yang mempunyai tujuan awal, tetapi pada pertengahan baris atau kalimat tersebut si penyair membahas atau membicarakan hal lain yang menyimpang dari tujuan awalnya, kemudian ia kembali lagi ke tujuan semula. Dalam ilmu balaghah istilah istithrad adalah ketika seorang pembicara berpindah dari maksud ungkapan yang sedang diucapkannya kepada ungkapan lain yang masih mempunyai keterkaitan dengannya. Setelah itu ia kembali kepada ungkapan yang di tujunya sejak awal. Seperti:

وَاَنَا اُنَاسٌ لَا نَرَيْ الْقَتْلَ سِبَةً # إِذَا مَا رَأَتْهُ عَامِرُ وَسَلُوْلُ

يُقْرِبُ حُبُّ الْمَوْتِ آجَالَنَا لَنَا # وَتُكْرِهُهُ آجَالُهُمْ فَتَطُوْلَ

وَمَا مَاتَ مِنَّا سَيِّدٌ حَتْفًا نَفِهِ # وَلَا طَلٌّ مِنَّا حَيْثُ كَا قَتِيْلُ

Sungguh kita adalah umat manusia, Tidak menganggap mati terbunuh suatu cela

Tatakala suku Amir dan suku Salul

Memandangnya sebaga cela

Cinta mati mendekatkan kepada kita Menuju datangnya ajal-ajal kita Namun ajal-ajal mereka membencinya Karena itu menjadi lama  

Tiada mati seorang pemimpin kita Dengan cara mati biasa Tiada penjenguk dari kita Di mana ia mati terbunuh.

Pada susunan kaidah di atas, penyair bertujuan untuk menunjukkan kemulian, kemudian berpindah dari ungkapan tersebut kepada upaya untuk menyindir dua kelompok suku, (suku Amir dan Salul). Kemudian ia kembali lagi kepada tujuan semula, yaitu menampilkan kemuliaan kaumnya.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Pengelolaan Kelas

Makalah Ilmu Badi' Balaghah